Rabu, 23 Oktober 2013

Pemimpin yang Dijamin Masuk Surga


Pemimpin yang Dijamin Masuk Surga
Kisah Islamiah sore dengan Kisah Sahabat, seorang pemimpin yang tidak mau digaji meskipun jabatannya tergolong tinggi di Madinah. Untuk memenuhi kesehariannya, beliau menjual keranjang yang dianyam dari daun kurma.

Penghasilan tiap harinya hanya 3 dirham saja, yang satu dirham untuk modal lagi besoknya, yang 1 dirham untuk nafkah keluarganya dan yang 1 dirham disedekahkan.
Subhanallah...

Beliaulah Salma Al Farisi, seorang sahabat rasululah SAW yang terpaksa menerima jabatan sebagai pemimpin Madinah.
Karena amanah dan kejujurannya, ia salah satu sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW.
Sebuah kisah yang menyentuh hati.

Kisahnya.
Pada suatu hari, usai shalat subuh berjamaah di sebuah masjid, Rasulullah SAW memanggil sahabat-sahabatnya yang ikut berjamaah shalat subuh.
Rasulullah SAW berpesan,
"Hendaklah bagian masing-masingmu dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengembara."

Mendengar Sabda Rasulullah SAW tersebut, Salma Al Farisi duduk termenung, memikirkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Salma berharap bisa memenuhi pesan itu sebaik-baiknya. namun, perasaannya masih saja khawatir kalau ia telah melampui batas yang telah ditetapkan.

Padahal kalau dipikir, di dalam rumah Salman tak ada satu pun barang berharga yang dimilikinya. Salman hanya memiliki sebuah piring tempat dia makan dan baskom untuk tempat minum dan wudhu.

Meskipun demikian, Salman menganggap bahwa dirinya telah berlaku boros. Ketika hendak mendirikan rumah saja, ia takut sekali bila bangunan rumahnya tergolong bagus.
Salman berkata kepada tukang batu yang membangun rumahnya.
"Tolong untuk membangun rumah saya jangan terlalu mewah, cukup yang sederhana saja," pesan Salman kepada tukang batunya.

Mencari Rezeki Halal.
Beberapa saat berlalu, akhirnya Salman Al farisi dipaksa harus menerima jabatan sebagai Amir atau Kepala Daerah di Madinah.
Ia menerima jabatan itu, namun ia menolak untuk menerima gajinya, meski hanya satu dirham sekalipun.

Meskipun Salam sudah menjadi seorang Amir, ia tak malu-malu menganyam daun kurma untuk dijadikan bakul atau keranjang, kemudian dijualnya. Dari pekerjaan itulah Salman mendapatkan nafkahnya.

Dengan memakai pakaian yang sangat sederhana, tidak lebih dari sehelai baju luar yang agak usang, hari-harinya disibukkan oleh kegiatannya.
Untuk bahan membuat keranjang, dibelinya satu dirham dan kemudian keranjang yang sudah jadi dijualnya 3 dirham. Yang satu dirham untuk modal, satu dirham lagi untuk nafkah keluarganya, sedangkan satu dirham sisanya untuk sedekah.

Pernah suatu ketika sahabatnya menanyakan tentang kegiatannya yang sederhana itu padahal bisa saja dia menerima upah yang tinggi dan hidupnya berkecukupan. Malah Salman Al Farisi berkata,
"Seandainya Umar bin Khattab pun melarangku berbuat demikian, aku tidak akan menghentikannya."
Begitulah salah satu watak sahabat Rasulullah SAW. Kepercayaan dan keimanannya sangat tinggi, hingga Sabda Rasul pun bisa dilakukan dengan baik.

Bertemu dengan orang Syria.
Pada suatu hari ketika Salman sedang berjalan di tengah keramaian, ia didatangi oleh seorang laki-laki Syria yang membawa sepikul buah Tin dan Kurma. Rupanya barang itu terlalu berat dan melelehkan jika dipikul terus.

Melihat ada seorang laki-laki yang tampak seperti orang biasa dan dari golongan orang yang tak mampu, maka orang syria itu bermaksud menyuruhnya mengangkat buah-buahan itu dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila telah sampai di tempat tujuan.

Orang Syria itu memberi isyarat agar Salman mendatanginya,
"Tolong bawakan barang-barangku ini," kata orang Syria.

Pemimpin Bijaksana.
Tanpa bicara, Salman langsung mengangkat barang itu, kemudian mereka berjalan bersama di tengah keramaian.

Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan sekelompok orang.
Salman memberi salam kepada mereka dan orang-orang itu berhenti sambil menjawab salamnya.
"Wa'alaikum Salam wahai Amir," kata orang-orang itu.

Mendengar jawaban salam dari orang-orang itu, orang Syria itu kaget sekaligus bingung, sebenarnya siapakah yang dipanggil dengan Amir itu.
Rasa heran kian bertambah kala berpapasan dengan sekelompok orang lagi.
"Berikan kepada kami, Wahai Amir," kata salah seorang dari mereka.

Sekarang baru tahulah orang Syria itu, bahwa yang disuruh mengangkat barangnya itu adalah Salman Al Farisi, Amir Kota Madinah.
Orang Syria itu gugup, kata-kata penyesalan dan maaf segera terlontar dari mulutnya berkali-kali. Dengan sigapnya, orang Syria itu akan mengambil barang yang dibawa Amir Madinah itu.

Namun, Salman menolaknya dengan halus.
"Tidak, sebelum aku antarkan sampai ke tujuannya," kata Salman sambil menggelengkan kepala.

Itulah Salama Al Farisi, salah seorang sahabat Rasululah SAW yang kehidupannya sangat bersahaja. tak lebih dari satu dirham setiap harinya yang diperoleh dari jerih payahnya sendiri. Dia tidak mau menerima tunjangan dari jabatan yang telah dia emban.

Akan tetapi dia lebih senang mencari nafkah sendiri dengan cara yang halal dari hasil kedua tangannya. Demikian jujur dan adilnya dalam melaksanakan amanah, akhirnya Salman Al Farisi menjadi salah satu sahabat nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga.

Bagaimanakah dengan pemimpin negeri ini?
Seperti Salman Al Farisi kah

Kamis, 10 Oktober 2013

Fadhilah puasa Tarwiyah dan Arofah


Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 bulan Dzulhijah pada kalender Islam Qamariyah/Hijriyah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi kaum Muslimin yang tidak menjalankan ibadah haji.

Kesunnahan puasa Arafah tidak didasarkan adanya wukuf di Arafah oleh jamaah haji, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia tidak sama dengan di Saudi Arabia yang hanya berlainan waktu 4-5 jam. Ini tentu berbeda dengan kelompok umat Islam yang menghendaki adanya ‘rukyat global’, atau kelompok yang ingin mendirikan khilafah islamiyah, dimana penanggalan Islam disamaratakan seluruh dunia, dan Saudi Arabia menjadi acuan utamanya.

Keinginan menyamaratakan penanggalan Islam itu sangat bagus dalam rangka menyatukan hari raya umat Islam, namun menurut ahli falak, keinginan ini tidak sesuai dengan kehendak alam atau prinsip-prinsip keilmuan. Rukyatul hilal atau observasi bulan sabit yang dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah atau Hijriyah berlaku secara nasional, yakni rukyat yang diselenggarakan di dalam negeri masing-masing dan berlaku satu wilayah hukum. Ini juga berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad SAW sendiri.

Penentuan hari arafah itu juga ditegaskan dalam Bahtsul Masa’il Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar Nahdlatul Ulama XXX di Pondok Pesantren Lirboyo, akhir 1999. Ditegaskan bahwa yaumu arafah atau hari Arafah yaitu tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan kalender negara setempat yang berdasarkan pada rukyatul hilal.

Adapun tentang fadhilah atau keutamaan berpuasa hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah didasarkan pada hadits berikut ini:



Puasa hari Arafah menebus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang dan puasa Asyura (10 Muharram) menebus dosa setahun yang telah lewat. (HR Ahmad, Muslim dan Abu Daud dari Abi Qotadah)

Para ulama menambahkan adanya kesunnahan puasa Tarwiyah yang dilaksanakan pada hari Tarwiyah, yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits lain, bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan bahwa hadits ini dloif (tidak kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Selain itu, memang pada hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa untuk menjalankan ibadah seperti puasa. Abnu Abbas RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda:


Diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: Ya Rasulallah, walaupun jihad di jalan Allah? Rasulullah bersabda: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya atau menjadi syahid. (HR Bukhari)

Puasa Arafah dan Tarwiyah sangat dianjurkan bagi yang tidak menjalankan ibadah haji di tanah suci. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa Ramadhan.

Bagi kaum Muslimin yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan juga disarankan untuk mengerjakannya pada hari Arafah ini, atau hari-hari lain yang disunnahkan untuk berpuasa. Maka ia akan mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala puasa wajib (qadha puasa Ramadhan) dan pahala puasa sunnah. Demikian ini seperti pernah dibahas dalam Muktamar NU X di Surakarta tahun 1935, dengan mengutip fatwa dari kitab Fatawa al-Kubra pada bab tentang puasa:


Diketahui bahwa bagi orang yang ingin berniat puasa sunnah, lebih baik ia juga berniat melakukan puasa wajib jika memang ia mempunyai tanggungan puasa, tapi jika ia tidak mempunyai tanggungan (atau jika ia ragu-ragu apakah punya tanggungan atau tidak) ia cukup berniat puasa sunnah saja, maka ia akan memperoleh apa yang diniatkannya.

Kamis, 06 Juni 2013

Kegiatan Santri di PP Assaidiyyah Tambakberas Jombang

 Suasan belajar yang langsung dibawah bimbingan bu nyai Assaidiyah 1
Musyawaroh dan diskusi antara santri senior dan santri yunior
 Kegiatan Santri didalm mengisi waktu senggang agar tidak jenuh
 Para Ustad dan Pengurus Assaidiyyah 1
 Tempat tinggal santri yang representatif di pp assaidiyah 1 memungkinkan santri bisa tinggal dan belajar dengan nyaman dibawah bimbingan pengasuh dan pengurus assaidiah
Para Ustad dan pengasuh PP Assaidiyah 1

Sabtu, 11 Mei 2013

Menyikapi Diantara Dua Hukum Memperingati Isra` Mi`raj


Menyikapi Diantara Dua Hukum Memperingati Isra` Mi`raj


Tidak diragukan lagi, bahwa Isra’ & Mi’raj merupakan tanda dari Allah yang menunjukkan atas kebenaran Rasul-Nya Muhammad SAW dan keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya, selain juga membuktikan atas kehebatan Allah dan kebesaran kekuasaan-Nya atas semua makhluk.
Firman Allah :
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. 17:1).

Semua Manusia yang mengaku beriman kepada Alloh SWT pasti akan percaya pada apa yang telah terjadi pada diri Rasululloh SAW, tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang beriman tentang perjalanan Rasululloh SAW dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu kemudian sampai ke sidrotul muntaha, yang kesemuanya itu dilakukan hanya dalam jangka waktu satu malam, bagi orang awwam tentunya tidak percaya terhadap kejadian tersebut terbukti pada zaman rasulullulloh ketika menerangkan kejadian tersebut pada warga makkah.
Akan tetapi dizaman yang serba modern ini kejadian tersebut bisa dibuktikan dengan mudah secara ilmiah yaitu dengan Teori Albert Einstein tentang Relativitas, akan tetapi disini saya tidak memaparkan secara gamblang tentang pembuktian tersebut, disini saya hanya ingin memaparkan bagaimana sehendaknya kita sebagai ummat islam menyikapi dua pandangan hukum terhadap peringatan isra` mi`raj, karena beberapa kalangan ulama` Dunia sebagian mengharamkan Peringatan-peringatan Isro` Mi`roj dan sebagian lagi membolehkan untuk memperingatinya, kesemua pandangan ulama`-ulama` islam itu adalah benar, karena mereka memiliki dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur`an dan Al-hadits yang menjadi rujukan mereka dalam memutuskan suatu perkara.

Saya coba akan memaparkan melalui media ini perbandingan antara dua pendapat diatas,

1). Pendapat golongan yang pertama (Kelompok Salafy ) yang tidak memboleh perayaan Isro` Miroj dengan alasan diantaranya yaitu :

Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj itu bagian dari risalah dan syari’at Allah subhanahu wata’ala, pasti beliau telah ajarkan kepada umatnya. Kalau seandainya peringatan Isra’ Mi’raj ini amalan yang baik, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya adalah orang-orang pertama yang mengadakan acara tersebut. Demikian pula para ulama generasi berikutnya yang mengikuti dan meneladani mereka, semuanya akan mengadakan perayaan-perayaan khusus untuk memperingati Isra’ Mi’raj Nabi Besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sehingga acara peringatan Isra’ Mi’raj, dalam bentuk apapun acara tersebut dikemas, merupakan amalan bid’ah, sebuah kemungkaran, dan perbuatan maksiat karena:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (syari’at) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnyarahimahumullah.
3. Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya peringatan Isra’ Mi’raj.
4. Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya:
       a. Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan.
       b. Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bid’ah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan.
       c.  Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya.
       d.  Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:
§  Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya orang di sana.
§  Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara. Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi.
         Tidak semestinya beberapa gangguan tadi dianggap sepele dan ringan. Kecil maupun besar, setiap perbuatan yang bisa mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, maka pelakunya terkenai ancaman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
         “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
                        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk al-jannah orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (HR. Muslim)
       e.Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat berjama’ah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan shalat fardhu. Ketika acara dimulai ba’da shalat Isya’ misalnya, sejak sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara, sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di ‘pos-pos’ mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan isya’. Wal ‘iyadzubillah.
Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra’ Mi’raj, namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebuah peristiwa dan mu’jizat besar yang saat itulah kewajiban shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin ‘menyukseskan’ acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit tersebut.
Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati Isra’ Mi’raj itu adalah baik, maka katakanlah sebagaimana kata Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah:
مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ  فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا}
“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama.” 

2). Selanjutnya ialah pendapat yang kedua, yang membolehkan perayaan Isro` Mi`roj (ini merupakan pendapat kelompok Nahdliyin NU,NW dkk) dengan alasan : 
Apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan.
Nabi Muhammad SAW bersabda : ‘Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya’ (Muslim dll). Makna ‘aktifitas yang baik’ –secara sederhananya–adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya. dan banyak lagi hadits-hadits yang dijadikan sebagai rujukan bahwa memperingati Isro` mi`roj itu hukumnya dibolehkan.

Baiklah ikhwah fillah yang dimuliakan Alloh SWT, demikian itulah beberepa pendapat Ulama Islam tentang hukum memperingati Isro` Mi`roj, tentunya bagi masyarakat umum sangatlah bingung untuk menentukan sikap terhadap dua pendapat Ulama tersebut, maka bagaimanakah seharusnya kita sebagai masyarakat muslim menyikapi dua pendapat tersebut? 
Sebaiknya kita sebagai muslim memperhatikan sisi kebaikan dari peringatan Isra` mi`raj tersebut karena Alloh tidak pernah melarang hambanya untuk selalu berbuat kebaikan terhadap agamanya, dengan melihat sisi positif perayaan/peringatan isra` mi`raj saya rasa tidak ada salahnya kita merayakannya karena :
1. Sebagai media pemersatu Ummat Islam
2. Mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang kejadian besar yang telah dialami Nabi Muhammad SAW
3. Syiar kebangkitan islam
4. dan lain sebagainya
dan sebenarnya yang salah adalah bukan terletak pada bid`ahnya, akan tetapi yang salah adalah mencampur adukkan kebaikan dengan berbagai penyimpangan syariah,dan inilah sebagai tugas kita untuk meluruskan pandangan masyarakat.
Wallohu a`lam Bisshowab