Senin, 12 November 2012

Tak ada tradisi dan tuntunan dalam Islam untuk merayakan tahun baru Hijriah.



Di Indonesia, hadirnya tahun baru Islam, 1 Muharam, selalu saja kalah meriah dibanding perayaan tahun baru Masehi ataupun tahun Imlek. Namun, tak perlu merisaukan hal ini.
“Tak perlu risau jika perayaan tahun baru Islam tidak semeriah tahun baru umat atau agama lain. Memang tidak ada tradisi dalam Islam untuk merayakan tahun baru 1 Muharam,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs KH Amidhan, kepada Republika, Rabu (23/11).

Menurut dia, Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan penanggalan Islam dimulai hari Hijratur Rasul. Hal ini dimaksudkan untuk menandai perubahan besar dalam perkembangan Islam, yaitu hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. “Sayyidina Umar bin Khattab telah membandingkan dengan kalender Persia dan Romawi, ternyata menurutnya kalender Hijriah lebih baik. Mengikuti sunah Rasul, tidak ada perintah Nabi SAW memperingati atau merayakan tahun baru Hijriah.”
Menurut ulama asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, pada masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam masih menggunakan sistem penanggalan pra-Arab, yaitu campuran penanggalan sistem bulan (qamariah) dan sistem matahari (syamsiah). Rasulullah SAW bahkan melarang meniru budaya bangsa dan umat sebelum Islam, seperti umat Yahudi, bangsa Persia, Romawi, dan umat Nasrani yang merayakan tahun baru mereka.
“Rasulullah SAW bersabda: Man tasyabbaha biqaumin fahua minhum. Artinya, ‘Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/bangsa maka ia termasuk salah seorang dari mereka,’” jelas Kiai Amidhan.
Setelah Khilafah Islam berhasil menaklukkan kekaisaran Persia dan membebaskan wilayah Syam dari kekuasaan Romawi Timur pada 17 H atau 638 M, Umar bin Khattab yang berkedudukan di Irak meresmikan penanggalan Hijriah tersebut. Umar dan umat Islam waktu itu tidak terpikir sedikit pun untuk merayakan tahun baru Hijriah.
“Umar pada saat itu terfokus untuk mengokohkan syariah Islam dan mengembangkan Islam ke seluruh dunia. Lagi pula, perayaan semacam itu tidak dilakukan Rasulullah. Sementara, memuliakan Islam bukan dengan membuat perayaan tahun baru Hijriah, melainkan dengan mengikuti sunah Nabi, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, dan menjadikan dasar hukum dan petunjuk untuk menjalani kehidupan,” paparnya.
Dalam perjalanan sejarah selanjutya, ungkap Kiai Amidhan, adalah kaum Syiah, tepatnya kelompok al-’ubadiyyun dari sekte Ismailiyyah yang lebih dikenal dengan kaum Fathimiyyun menggelar perayaan tahun baru Hijriah. Kelompok ini mendirikan negara di Mesir terpisah dari Khilafah Abassiyah yang berpusat di Baghdad.
Mereka ingin meniru apa yang ada pada umat Nasrani yang merayakan tahun baru mereka. Sejak itu, tahun baru Hijriah dalam kalender Hijriah dirayakan setiap 1 Muharam. Termasuk umat Islam di Indonesia yang mengklaim dirinya Sunni. Berdasarkan hal-hal di atas tidak perlu risau jika perayaan tahun baru Hijriah tidak semeriah perayaan tahun baru agama atau bangsa lain.”
Lebih lanjut ia mengungkapkan, untuk membudayakan tahun Hijriah, pada 1970-an, menteri agama mewajibkan agar surat-surat dinas di lingkungan Kementerian Agama dibuat secara dwipenanggalan. Yaitu, selain penanggalan Masehi tahun juga dibuat penanggalan Hijriah. Begitu juga tentunya di lingkungan MUI dan ormas-ormas Islam.
“Menurut hemat saya, di setiap tahun baru Hijriah hendaknya diadakan seminar, diskusi, dan ceramah-ceramah pendalaman makna Hijratur Rasul (hijrahnya Rasulullah SAW). Karena di situlah titik kesejarahan dimulainya perubahan besar dan perkembangan Islam ke seluruh dunia.”
Ramaikan dengan puasa
Pandangan yang sama disampaikan Ketua Umum Persis, Prof Dr Maman Abdurrahman. Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) ini menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada aturan-aturan untuk meramaikan tahun baru Islam. Karena, ini berbeda dengan agama-agama yang lain.
“Mengapa demikian? Karena, di dalam Islam itu sudah ada waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan momen-momen tentang meramaikan tahun, yaitu pertama dalam Hari Raya Idul Fitri dan kedua Hari Raya Idul Adha. Dari situ letaknya sehingga tidak ada lagi hari raya-hari raya yang lain,” ujar Prof Maman.
Menurut Prof Maman, begitu ia akrab disapa, kalau pun harus meramaikan Bulan Muharam, meramaikannya bukan dengan cara sebagaimana yang ada pada agama-agama lain, melainkan dengan ibadah puasa yang dikenal dengan puasa Asyura (10 Muharam).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar