Maka dari itu—dan ini memang sudah jamak disadari oleh
mayoritas masyarakat Muslim—penyambutan tahun baru hijriah sebenarnya
hanya terletak pada penyambutan tahun barunya, untuk menyaingi tahun
baru masehi. Itu berarti motifnya bukan mengamalkan ajaran agama, tapi
untuk tasyabbuh pada tahun baru masehi. Memang dari segi tujuan
ada baiknya, yakni mengubah tradisi perayaan tahun baru masehi yang
kental dengan pesta, menjadi lebih berpihak pada Islamnya dengan
nuansa-nuansa Islami. Akan tetapi tentu tidak cukup berhenti sampai di
sana. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempunyai identitas
mandiri, tidak ikut-ikutan pada budaya orang lain. Nabi saw senantiasa
mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu
merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk
menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh
cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam. Pesan
Rasul saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka.[2]
Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan
menemukan penduduknya suka merayakan hari Nairuz dan Mihrajan
sebagaimana biasa dirayakan di masa Jahiliyyah, Nabi saw langsung
melarangnya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke
Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan. Tanya
Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya
Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari
yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[3]
Terkait hadits di atas, Imam al-Mubarakfuri menjelaskan
bahwa dua hari yang biasa dirayakan penduduk Madinah waktu itu adalah
hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam
perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada
pada titik bintang haml/aries. Bulan Nairuz dalam perhitungan
tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan bulan Muharram dalam tahun
hijriah. Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru. Sementara
hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari
berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[4]
Kedua perayaan tersebut sangat tidak disetujui oleh Rasulullah saw.
Tidak perlu mengekor pada tradisi jahiliyyah, demikian kurang lebih
pesan Rasulsaw, kita umat Islam pun punya perayaan tersendiri;
‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha.
Sangat jelas sekali apa yang disampaikan Anas dalam hadits
di atas. Rasul saw tidak merestui adanya perayaan tahun baru. Hanya
‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja, titik, tidak ada lagi. Dan masih
kurang jelas apa lagi Islam dalam memberikan tuntunan kepada umatnya
agar tidak terbawa-bawa tradisi jahiliyyah. Bahkan jika dikaitkan dengan
momentum hijrah ini, maka yang harus dilakukan justru menanggalkan
semua bentuk perayaan yang biasa dirayakan bangsa-bangsa jahiliyyah, di
antaranya tahun baru, dengan beralih (hijrah) pada tuntunan yang
benar-benar berasal dari Islam.
Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan
perhatian pada pergantian waktu. Karena sebagaimana kita tahu, waktu
merupakan hal yang disorot secara tajam oleh al-Qur`an. Dari mulai titah
untuk selalu memperhatikan waktu fajar (wal-fajri), waktu shubuh (was-shubhi idza tanaffas), waktu pagi (wad-dluha), waktu siang (wan-nahari idza tajalla), waktu sore (wal-’ashri), sampai waktu malam (wal-laili idza yaghsya), dan waktu secara menyeluruh itu sendiri (wal-’ashri).
Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal
yang sudah kita perbuat, untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang
telah kita kerjakan. Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun
sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian
biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Dan
yang diinstruksikan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih
intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan
malamnya.
Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
[1] Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthy, Fiqh as-Sirah, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Sirah Nabawiyyah: Analisis Ilmiah Manhajiyyah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Jakarta: Robbani Press, 2008, Cet. XIII, hlm. 171-174
[2] Sunan Abi Dawud 4 : 44 no.4031, bab fi labsi asy-syuhrah; Musnad al-Bazzar 7 : 368 no.2966 dan 2 : 41 no.5002 dari Hudzaifah al-Yaman; Musnad asy-Syihab 1 : 244 no.310 bab man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum dari Thawus
[3] Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-’idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-’idain no. 1567
[4] Al-Mubarakfuri, ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, al-Maktabah al-Syamilah, 3 : 88
Tidak ada komentar:
Posting Komentar