Di
Indonesia, hadirnya tahun baru Islam, 1 Muharam, selalu saja kalah meriah
dibanding perayaan tahun baru Masehi ataupun tahun Imlek. Namun, tak perlu
merisaukan hal ini.
“Tak perlu
risau jika perayaan tahun baru Islam tidak semeriah tahun baru umat atau agama
lain. Memang tidak ada tradisi dalam Islam untuk merayakan tahun baru 1
Muharam,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs KH Amidhan, kepada
Republika, Rabu (23/11).
Menurut dia, Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan penanggalan Islam dimulai hari Hijratur Rasul. Hal ini dimaksudkan untuk menandai perubahan besar dalam perkembangan Islam, yaitu hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. “Sayyidina Umar bin Khattab telah membandingkan dengan kalender Persia dan Romawi, ternyata menurutnya kalender Hijriah lebih baik. Mengikuti sunah Rasul, tidak ada perintah Nabi SAW memperingati atau merayakan tahun baru Hijriah.”
Menurut dia, Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan penanggalan Islam dimulai hari Hijratur Rasul. Hal ini dimaksudkan untuk menandai perubahan besar dalam perkembangan Islam, yaitu hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. “Sayyidina Umar bin Khattab telah membandingkan dengan kalender Persia dan Romawi, ternyata menurutnya kalender Hijriah lebih baik. Mengikuti sunah Rasul, tidak ada perintah Nabi SAW memperingati atau merayakan tahun baru Hijriah.”
Menurut
ulama asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, pada masa Nabi Muhammad SAW,
umat Islam masih menggunakan sistem penanggalan pra-Arab, yaitu campuran
penanggalan sistem bulan (qamariah) dan sistem matahari (syamsiah). Rasulullah
SAW bahkan melarang meniru budaya bangsa dan umat sebelum Islam, seperti umat
Yahudi, bangsa Persia, Romawi, dan umat Nasrani yang merayakan tahun baru
mereka.
“Rasulullah
SAW bersabda: Man tasyabbaha biqaumin fahua minhum. Artinya, ‘Siapa saja
yang menyerupai suatu kaum/bangsa maka ia termasuk salah seorang dari mereka,’”
jelas Kiai Amidhan.
Setelah
Khilafah Islam berhasil menaklukkan kekaisaran Persia dan membebaskan wilayah
Syam dari kekuasaan Romawi Timur pada 17 H atau 638 M, Umar bin Khattab yang
berkedudukan di Irak meresmikan penanggalan Hijriah tersebut. Umar dan umat
Islam waktu itu tidak terpikir sedikit pun untuk merayakan tahun baru Hijriah.
“Umar pada
saat itu terfokus untuk mengokohkan syariah Islam dan mengembangkan Islam ke
seluruh dunia. Lagi pula, perayaan semacam itu tidak dilakukan Rasulullah.
Sementara, memuliakan Islam bukan dengan membuat perayaan tahun baru Hijriah,
melainkan dengan mengikuti sunah Nabi, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya,
dan menjadikan dasar hukum dan petunjuk untuk menjalani kehidupan,” paparnya.
Dalam
perjalanan sejarah selanjutya, ungkap Kiai Amidhan, adalah kaum Syiah,
tepatnya kelompok al-’ubadiyyun dari sekte Ismailiyyah yang lebih dikenal
dengan kaum Fathimiyyun menggelar perayaan tahun baru Hijriah. Kelompok ini
mendirikan negara di Mesir terpisah dari Khilafah Abassiyah yang berpusat di
Baghdad.
“Mereka
ingin meniru apa yang ada pada umat Nasrani yang merayakan tahun baru mereka.
Sejak itu, tahun baru Hijriah dalam kalender Hijriah dirayakan setiap 1
Muharam. Termasuk umat Islam di Indonesia yang mengklaim dirinya Sunni.
Berdasarkan hal-hal di atas tidak perlu risau jika perayaan tahun baru Hijriah
tidak semeriah perayaan tahun baru agama atau bangsa lain.”
Lebih lanjut
ia mengungkapkan, untuk membudayakan tahun Hijriah, pada 1970-an, menteri agama
mewajibkan agar surat-surat dinas di lingkungan Kementerian Agama dibuat secara
dwipenanggalan. Yaitu, selain penanggalan Masehi tahun juga dibuat penanggalan
Hijriah. Begitu juga tentunya di lingkungan MUI dan ormas-ormas Islam.
“Menurut
hemat saya, di setiap tahun baru Hijriah hendaknya diadakan seminar, diskusi,
dan ceramah-ceramah pendalaman makna Hijratur Rasul (hijrahnya Rasulullah SAW).
Karena di situlah titik kesejarahan dimulainya perubahan besar dan perkembangan
Islam ke seluruh dunia.”
Ramaikan
dengan puasa
Pandangan yang sama disampaikan Ketua Umum Persis, Prof Dr Maman Abdurrahman. Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) ini menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada aturan-aturan untuk meramaikan tahun baru Islam. Karena, ini berbeda dengan agama-agama yang lain.
Pandangan yang sama disampaikan Ketua Umum Persis, Prof Dr Maman Abdurrahman. Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) ini menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada aturan-aturan untuk meramaikan tahun baru Islam. Karena, ini berbeda dengan agama-agama yang lain.
“Mengapa
demikian? Karena, di dalam Islam itu sudah ada waktu-waktu tertentu untuk
melaksanakan momen-momen tentang meramaikan tahun, yaitu pertama dalam Hari
Raya Idul Fitri dan kedua Hari Raya Idul Adha. Dari situ letaknya sehingga tidak
ada lagi hari raya-hari raya yang lain,” ujar Prof Maman.
Menurut Prof
Maman, begitu ia akrab disapa, kalau pun harus meramaikan Bulan Muharam,
meramaikannya bukan dengan cara sebagaimana yang ada pada agama-agama lain,
melainkan dengan ibadah puasa yang dikenal dengan puasa Asyura (10 Muharam).