Minggu, 09 Desember 2012
Senin, 12 November 2012
Tak ada tradisi dan tuntunan dalam Islam untuk merayakan tahun baru Hijriah.
Di
Indonesia, hadirnya tahun baru Islam, 1 Muharam, selalu saja kalah meriah
dibanding perayaan tahun baru Masehi ataupun tahun Imlek. Namun, tak perlu
merisaukan hal ini.
“Tak perlu
risau jika perayaan tahun baru Islam tidak semeriah tahun baru umat atau agama
lain. Memang tidak ada tradisi dalam Islam untuk merayakan tahun baru 1
Muharam,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Drs KH Amidhan, kepada
Republika, Rabu (23/11).
Menurut dia, Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan penanggalan Islam dimulai hari Hijratur Rasul. Hal ini dimaksudkan untuk menandai perubahan besar dalam perkembangan Islam, yaitu hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. “Sayyidina Umar bin Khattab telah membandingkan dengan kalender Persia dan Romawi, ternyata menurutnya kalender Hijriah lebih baik. Mengikuti sunah Rasul, tidak ada perintah Nabi SAW memperingati atau merayakan tahun baru Hijriah.”
Menurut dia, Khalifah Umar bin Khattab yang menetapkan penanggalan Islam dimulai hari Hijratur Rasul. Hal ini dimaksudkan untuk menandai perubahan besar dalam perkembangan Islam, yaitu hijrah Nabi SAW dari Makkah ke Madinah. “Sayyidina Umar bin Khattab telah membandingkan dengan kalender Persia dan Romawi, ternyata menurutnya kalender Hijriah lebih baik. Mengikuti sunah Rasul, tidak ada perintah Nabi SAW memperingati atau merayakan tahun baru Hijriah.”
Menurut
ulama asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan ini, pada masa Nabi Muhammad SAW,
umat Islam masih menggunakan sistem penanggalan pra-Arab, yaitu campuran
penanggalan sistem bulan (qamariah) dan sistem matahari (syamsiah). Rasulullah
SAW bahkan melarang meniru budaya bangsa dan umat sebelum Islam, seperti umat
Yahudi, bangsa Persia, Romawi, dan umat Nasrani yang merayakan tahun baru
mereka.
“Rasulullah
SAW bersabda: Man tasyabbaha biqaumin fahua minhum. Artinya, ‘Siapa saja
yang menyerupai suatu kaum/bangsa maka ia termasuk salah seorang dari mereka,’”
jelas Kiai Amidhan.
Setelah
Khilafah Islam berhasil menaklukkan kekaisaran Persia dan membebaskan wilayah
Syam dari kekuasaan Romawi Timur pada 17 H atau 638 M, Umar bin Khattab yang
berkedudukan di Irak meresmikan penanggalan Hijriah tersebut. Umar dan umat
Islam waktu itu tidak terpikir sedikit pun untuk merayakan tahun baru Hijriah.
“Umar pada
saat itu terfokus untuk mengokohkan syariah Islam dan mengembangkan Islam ke
seluruh dunia. Lagi pula, perayaan semacam itu tidak dilakukan Rasulullah.
Sementara, memuliakan Islam bukan dengan membuat perayaan tahun baru Hijriah,
melainkan dengan mengikuti sunah Nabi, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya,
dan menjadikan dasar hukum dan petunjuk untuk menjalani kehidupan,” paparnya.
Dalam
perjalanan sejarah selanjutya, ungkap Kiai Amidhan, adalah kaum Syiah,
tepatnya kelompok al-’ubadiyyun dari sekte Ismailiyyah yang lebih dikenal
dengan kaum Fathimiyyun menggelar perayaan tahun baru Hijriah. Kelompok ini
mendirikan negara di Mesir terpisah dari Khilafah Abassiyah yang berpusat di
Baghdad.
“Mereka
ingin meniru apa yang ada pada umat Nasrani yang merayakan tahun baru mereka.
Sejak itu, tahun baru Hijriah dalam kalender Hijriah dirayakan setiap 1
Muharam. Termasuk umat Islam di Indonesia yang mengklaim dirinya Sunni.
Berdasarkan hal-hal di atas tidak perlu risau jika perayaan tahun baru Hijriah
tidak semeriah perayaan tahun baru agama atau bangsa lain.”
Lebih lanjut
ia mengungkapkan, untuk membudayakan tahun Hijriah, pada 1970-an, menteri agama
mewajibkan agar surat-surat dinas di lingkungan Kementerian Agama dibuat secara
dwipenanggalan. Yaitu, selain penanggalan Masehi tahun juga dibuat penanggalan
Hijriah. Begitu juga tentunya di lingkungan MUI dan ormas-ormas Islam.
“Menurut
hemat saya, di setiap tahun baru Hijriah hendaknya diadakan seminar, diskusi,
dan ceramah-ceramah pendalaman makna Hijratur Rasul (hijrahnya Rasulullah SAW).
Karena di situlah titik kesejarahan dimulainya perubahan besar dan perkembangan
Islam ke seluruh dunia.”
Ramaikan
dengan puasa
Pandangan yang sama disampaikan Ketua Umum Persis, Prof Dr Maman Abdurrahman. Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) ini menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada aturan-aturan untuk meramaikan tahun baru Islam. Karena, ini berbeda dengan agama-agama yang lain.
Pandangan yang sama disampaikan Ketua Umum Persis, Prof Dr Maman Abdurrahman. Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Bandung (Unisba) ini menjelaskan, dalam Islam memang tidak ada aturan-aturan untuk meramaikan tahun baru Islam. Karena, ini berbeda dengan agama-agama yang lain.
“Mengapa
demikian? Karena, di dalam Islam itu sudah ada waktu-waktu tertentu untuk
melaksanakan momen-momen tentang meramaikan tahun, yaitu pertama dalam Hari
Raya Idul Fitri dan kedua Hari Raya Idul Adha. Dari situ letaknya sehingga tidak
ada lagi hari raya-hari raya yang lain,” ujar Prof Maman.
Menurut Prof
Maman, begitu ia akrab disapa, kalau pun harus meramaikan Bulan Muharam,
meramaikannya bukan dengan cara sebagaimana yang ada pada agama-agama lain,
melainkan dengan ibadah puasa yang dikenal dengan puasa Asyura (10 Muharam).
Merayakan Tahun Baru Hijriah
Sebagian
umat Islam dengan dalih keagamaan meyakini bahwa tahun baru hijriah
harus dirayakan karena titik tekan hijrahnya. Keyakinan tersebut
tentunya sangat apologetik (mencari-cari alasan), karena pada faktanya
hijrah Rasulullah saw terjadi pada tanggal 2-12 Rabi’ul-Awwal tahun 13 bi’tsah/kenabian, bukan pada awal bulan Muharram.[1]
Maka dari itu—dan ini memang sudah jamak disadari oleh
mayoritas masyarakat Muslim—penyambutan tahun baru hijriah sebenarnya
hanya terletak pada penyambutan tahun barunya, untuk menyaingi tahun
baru masehi. Itu berarti motifnya bukan mengamalkan ajaran agama, tapi
untuk tasyabbuh pada tahun baru masehi. Memang dari segi tujuan
ada baiknya, yakni mengubah tradisi perayaan tahun baru masehi yang
kental dengan pesta, menjadi lebih berpihak pada Islamnya dengan
nuansa-nuansa Islami. Akan tetapi tentu tidak cukup berhenti sampai di
sana. Nabi saw senantiasa mengajarkan umatnya untuk mempunyai identitas
mandiri, tidak ikut-ikutan pada budaya orang lain. Nabi saw senantiasa
mengajarkan umatnya agar tidak mempunyai mental pengekor yang selalu
merasa minder jika tidak bisa menyamai orang-orang non-Islam. Untuk
menjadikan Islam lebih tinggi di atas non-Islam tidak perlu menempuh
cara-cara yang sama dengan yang telah ditempuh umat non-Islam. Pesan
Rasul saw:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berati ia bagian dari mereka.[2]
Maka dari itu, ketika Nabi saw datang hijrah ke Madinah dan
menemukan penduduknya suka merayakan hari Nairuz dan Mihrajan
sebagaimana biasa dirayakan di masa Jahiliyyah, Nabi saw langsung
melarangnya:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ r الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ. قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ r: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas, ia berkata: Ketika Rasulullah saw datang ke
Madinah, penduduknya mempunyai dua hari yang biasa dirayakan. Tanya
Rasul saw: “Ada apa dengan dua hari itu?” Mereka menjawab: “Kami sudah biasa merayakannya sejak zaman jahiliyyah.” Sabda Rasul saw: “Sesungguhnya
Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari tersebut dengan dua hari
yang lebih baik, yaitu hari Adlha dan hari Fithri.”[3]
Terkait hadits di atas, Imam al-Mubarakfuri menjelaskan
bahwa dua hari yang biasa dirayakan penduduk Madinah waktu itu adalah
hari Nairuz dan Mihrajan. Hari Nairuz adalah hari pertama dalam
perhitungan tahun bangsa Arab yang diukurkan ketika matahari berada pada
pada titik bintang haml/aries. Bulan Nairuz dalam perhitungan
tahun matahari versi bangsa Arab sama dengan bulan Muharram dalam tahun
hijriah. Merayakan hari Nairuz artinya merayakan tahun baru. Sementara
hari Mihrajan adalah hari pertengahan tahun, tepatnya ketika matahari
berada pada titik bintang mizan/gemini di awal musim semi, pertengahan antara musim dingin dan panas.[4]
Kedua perayaan tersebut sangat tidak disetujui oleh Rasulullah saw.
Tidak perlu mengekor pada tradisi jahiliyyah, demikian kurang lebih
pesan Rasulsaw, kita umat Islam pun punya perayaan tersendiri;
‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha.
Sangat jelas sekali apa yang disampaikan Anas dalam hadits
di atas. Rasul saw tidak merestui adanya perayaan tahun baru. Hanya
‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja, titik, tidak ada lagi. Dan masih
kurang jelas apa lagi Islam dalam memberikan tuntunan kepada umatnya
agar tidak terbawa-bawa tradisi jahiliyyah. Bahkan jika dikaitkan dengan
momentum hijrah ini, maka yang harus dilakukan justru menanggalkan
semua bentuk perayaan yang biasa dirayakan bangsa-bangsa jahiliyyah, di
antaranya tahun baru, dengan beralih (hijrah) pada tuntunan yang
benar-benar berasal dari Islam.
Itu semua bukan berarti bahwa Islam tidak memberikan
perhatian pada pergantian waktu. Karena sebagaimana kita tahu, waktu
merupakan hal yang disorot secara tajam oleh al-Qur`an. Dari mulai titah
untuk selalu memperhatikan waktu fajar (wal-fajri), waktu shubuh (was-shubhi idza tanaffas), waktu pagi (wad-dluha), waktu siang (wan-nahari idza tajalla), waktu sore (wal-’ashri), sampai waktu malam (wal-laili idza yaghsya), dan waktu secara menyeluruh itu sendiri (wal-’ashri).
Semuanya itu selalu dikaitkan oleh Allah swt dengan sejauh mana amal
yang sudah kita perbuat, untuk dijadikan sarana evaluasi atas semua yang
telah kita kerjakan. Artinya, Islam tidak memandang pergantian tahun
sebagai sesuatu yang istimewa lebih dari yang lainnya, hanya pergantian
biasa saja seperti pergantian siang dan malam, tidak lebih dari itu. Dan
yang diinstruksikan oleh al-Qur`an untuk diperhatikan justru yang lebih
intensif dari tahun, yakni pergantian waktu di setiap hari dan
malamnya.
Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
[1] Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthy, Fiqh as-Sirah, terj. Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, Sirah Nabawiyyah: Analisis Ilmiah Manhajiyyah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah saw, Jakarta: Robbani Press, 2008, Cet. XIII, hlm. 171-174
[2] Sunan Abi Dawud 4 : 44 no.4031, bab fi labsi asy-syuhrah; Musnad al-Bazzar 7 : 368 no.2966 dan 2 : 41 no.5002 dari Hudzaifah al-Yaman; Musnad asy-Syihab 1 : 244 no.310 bab man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum dari Thawus
[3] Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-’idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-’idain no. 1567
[4] Al-Mubarakfuri, ‘Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, al-Maktabah al-Syamilah, 3 : 88
Rabu, 24 Oktober 2012
Syarat-syarat Sahnya Kurban
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Shalawat dan salam teruntuk hamba dan utusan-Nya, Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Udhiyyah atau berkurban termasuk salah satu syi'ar Islam
yang agung dan termasuk bentuk ketaatan yang paling utama. Ia adalah syi'ar
keikhlasan dalam beribadah kepada Allah semata, dan realisasi ketundukan kepada
perintah dan larangan-Nya. Karenanya setiap muslim yang memiliki kelapangan
rizki hendaknya ia berkurban.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ
مُصَلاَّنَا
"Barangsiapa yang memiliki kelapangan, sedangkan ia
tidak berkurban, janganlah dekat-dekat musholla kami." (HR. Ahmad,
Ibnu Majah dan al-Hakim, namun hadits ini mauquf)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memberi
teladan, beliau senantiasa melaksanakannya. Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu 'Anhuma,
“Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam selama sepuluh tahun tinggal
di Madinah, beliau selalu menyembelih kurban.” (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi,
sanadnya hasan)
Diriwayatkan dalam Shahihain, “Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wasallam berkurban dua ekor domba yang putih dan bertanduk. Beliau
menyembelih sendiri dengan kedua tangannya sambil menyebut nama Allah dan
bertakbir serta meletakkan kakinya di samping lehernya.”
Syarat-syarat Kurban
Diantara urusan kurban yang harus diketahui oleh seorang
mudhahhi adalah syarat-syaratnya. Apa yang harus dipenuhi oleh pengorban dari
ibadah kurbannya:
Pertama, hewan kurban harus dari hewan ternak; yaitu unta, sapi,
kambing atau domba. Hal ini berdasarkan sabda firman Allah Ta'ala,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ
اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan
penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang
ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (QS. Al-Hajj: 34)
Bahimah An'am: unta, sapi, dan kambing. Ini yang dikenal
oleh orang Arab sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hasan, Qatadah, dan
selainnya.
Kedua, usianya sudah mencapai umur minimal yang ditentukan
syari'at. Yakni sudah musinnah, kecuali bagi domba boleh jadza'ahnya. Ini
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ
عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
"Janganlah kalian menyembelih kecuali Musinnah
(kambing yg telah berusia dua tahun), kecuali jika kalian kesulitan
mendapatkannya, maka sembelihlah domba jadza'ah." (HR. Muslim dari
sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu)
Dari Al-Barra' Radhiyallahu 'Anhu, berkata:
"Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan
shalat, setelah itu beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا فَلَا
يَذْبَحْ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ فَقَالَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ فَعَلْتُ فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ عَجَّلْتَهُ قَالَ فَإِنَّ عِنْدِي
جَذَعَةً هِيَ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّتَيْنِ آذْبَحُهَا قَالَ نَعَمْ ثُمَّ لَا
تَجْزِي عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
"Barangsiapa mengerjakan shalat seperti shalat kami,
dan menghadap kiblat kami, hendaknya tidak menyembelih binatang kurban sehingga
selesai mengerjakan shalat.” Lalu Abu Burdah bin Niyar berdiri dan berkata;
“Wahai Rasulullah, padahal aku telah melakukannya.” Beliau bersabda: “Itu
adalah ibadah yang kamu kerjakan dengan tergesa-gesa.” Abu Burdah berkata;
“Sesungguhnya aku masih memiki Jadza’ah dan dia lebih baik daripada dua
Musinnah, apakah aku juga harus menyembelihnya untuk berkurban? Beliau
bersabda: “Ya, namun hal itu tidak sah untuk orang lain setelahmu.” (HR.
al-Bukhari)
Musinnah sama dengan istilah Tsaniyyah, yakni hewan dengan
usia tertentu yang mencakup unta, sapi dan kambing. An-Nawawi berkata;
"Para ulama berkata; Musinnah adalah Tsaniyyah dari segala sesuatu
yakni dari unta, sapi dan kambing atau lebih." (Syarah An-Nawawi ‘Ala
Muslim, vol 13 hlm 117)
Dalam Mu’jam Lughati Al-Fuqaha’ (I/188) disebutkan:
"Tsaniyy adalah setiap hewan yang tanggal gigi serinya. Jamaknya Tsina’
dan Tsunyan. Bentuk lainya Tsaniyyah yang dijamakkan menjadi Tsaniyyat. Tsaniyy
dari unta adalah unta yang genap berusia lima tahun, dari sapi yang genap dua
tahun dan dari kambing yang genap satu tahun (Mu’jam Lughoti Al-Fuqoha’, vol
1/hlm 188)
Perician dari usia minimalnya:
-
Unta: sudah genap 5 tahun
-
Sapi: sudah genap 2 tahun
-
Kambing: sudah genap 1 tahun
-
Jadza'ah domba: sudah genap setengah tahun.
Tidak sah kurban yang usianya di bawan ketentuan di atas.
Ketiga, Hewan kurban terbebas dari aib/cacat. Di dalam nash
hadits ada ada empat cacat yang disebutkan:
1. Aur Bayyin (buta sebelah yang jelas)
2. Araj Bayyin (kepincangan yang jelas)
3. Maradh Bayyin (sakit yang jelas)
4. Huzal (kekurusan yang membuat
sungsum hilang).
Jika hewan kurban terkena salah satu atau lebih dari empat
macam aib ini, maka hewan tersebut tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban.
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib berkata: “Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam ditanya, ‘Apa yang harus dijauhi untuk hewan kurban?‘
Beliau memberikan isyarat dengan tangannya lantas bersabda: “Ada empat.” Barra’
lalu memberikan isyarat juga dengan tangannya dan berkata; “Tanganku lebih
pendek daripada tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
الْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ
عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَجْفَاءُ الَّتِى لاَ
تُنْقِى
"(empat perkara tersebut adalah) hewan yang jelas-jelas
pincang kakinya, hewan yang jelas buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang
kurus tak bersumsum.”
(H.R.Malik)
Dari ‘Ubaid bin Fairuz berkata: Aku pernah bertanya kepada
Al Bara` bin ‘Azib; sesuatu apakah yang tidak diperbolehkan dalam hewan kurban?
Kemudian ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
berdiri diantara kami, jari-jariku lebih pendek daripada jari-jarinya dan
ruas-ruas jariku lebih pendek dari ruas-ruas jarinya, kemudian beliau berkata:
أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِى الأَضَاحِى الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ
عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا
وَالْكَسِيرُ الَّتِى لاَ تَنْقَى
“Empat perkara yang tidak boleh ada di dalam hewan-hewan
kurban; yaitu buta sebelah matanya yang jelas kebutaannya, pincang yang jelas
pincangnya, sakit yang jelas sakitnya, dan pecah kakinya yang tidak memiliki
sumsum. ‘Ubaid berkata; aku katakan kepada Al Bara`; Aku tidak suka pada
giginya terdapat aib. Ia berkata; apa yang tidak engkau sukai maka tinggalkan
dan janganlah engkau mengharamkannya kepada seseorang." (HR. Abu
Dawud)
Keempat, Hewan tersebut benar-benar dimiliki oleh orang yang
berkurban atau yang diizikan dikurbankan atas namanya oleh syariat atau
oleh orang yang memilikinya. Tidak sah kurban orang yang tidak memilikinya
secara sah seperti hewan kurban yang dicuri, dikuasai dengan cara batil, dan
semisalnya. Sebabnya tidak sah ibadah taqarrub kepada Allah dengan maksiat
kepada-Nya. kurban pengasuh anak yatim yang diambil dari hartanya sah jika
berkurban telah menjadi rutinitas dan akan bersedih jika tidak ada hewan
kurban. Begitu juga sah kurban orang yang mewakili dari harta orang yang
diwakilinya dengan izinnya. (Syaikh Utsaimin dalam Risalah Ahkam Udhiyyah wa
Dzakah)
. . . Tidak sah kurban orang yang tidak memilikinya secara
sah seperti hewan kurban yang dicuri, dikuasai dengan cara batil, dan
semisalnya. . .
Kelima, tidak ada hak orang lain pada harta hewan kurban tersebut,
maka tidak sah kurban dari hewan yang digadai.
Keenam, menyembelihnya pada waktu yang telah ditentukan oleh
syariat. Yaitu setelah shalat Ied sampai terbenamnya matahari dari hari tasyriq
terakhir (tanggal 13 Dzulhijjah). Maka waktu menyembelih hewan kurban ada empat
hari: hari idul Adha sesudah shalat dan tiga hari sesudahnya yang dikenal
dengan ayyam Tasyriq. Maka siapa yang menyembelih sebelum shalat ied selesai
atau sesudah matahari di tanggal 13 terbenam, tidak sah kurbannya.
Dari Sahabat al-Barra' bin 'Azib Radhiyallahu 'Anhu,
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Sesungguhnya yang
pertama kali kita mulai pada hari ini adalah shalat. Kemudian kita pulang lalu
menyembelih hewan qurban. Barangsiapa berbuat demikian maka dia telah sesuai dengan
sunnah kami. Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka itu adalah daging yang
diberikan untuk keluarganya dan tidak termasuk nusuk (ibadah qurban)
sedikitpun." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Diriwayatkan lagi dari Jundub bin Sufyan al-Bajali Radhiyallahu
'Anhu, berkata: Aku menyaksikan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
pada hari nahar (penyembelihan) bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا
أُخْرَى وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ
"Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaknya
ia mengganatinya dengan hewan kurban yang lain, dan siapa yang belum berkurban
henwaknya ia berkurban." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam Shahih Muslim, dari hadits Nubaisyah al-Hudzaliy Radhiyallahu
'Anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda;
أَيَّامُ
التَّشْرِيْقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
"Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minuma."
(HR. Muslim)
. . . waktu menyembelih hewan kurban ada empat hari: hari
idul Adha sesudah shalat dan tiga hari sesudahnya yang dikenal dengan ayyam
Tasyriq. . .
Namun siapa mendapati udzur sehingga harus mengakhirkannya
sesudah hari tasyriq seperti hewan kurban lepas dan tidak lekas ditemukan
kecuali setelah habisnya waktu penyembelihan atau hewan tersebut dititipkan
kepada orang untuk menyembelihnya lalu orang tersebut lupa sehingga habis
waktunya, maka tidak apa-apa hewan tersebut disembelih sesudah lewat waktunya
karena udzur tadi. Hal ini diqiaskan kepada orang yang tertidur dari shalat
atau lupa, maka ia boleh shalat sewaktu terbangun dan di saat sudah ingat.
(Disarikan dari Risalah Ahkam Udhiyyah wa Dzakah, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin)
Dibolehkan juga menyembelih hewan kurban pada siang atau
malam hari, sementara menyembelih di siang hari itu lebih utama. Segera
menyembelih sesudah khutbah Idul Adha itu paling utama. Setiap hari
penyembelihan lebih utam dari hari sesudahnya karena itu bentuk bersegera
kepada perbuatan baik. Wallahu Ta'ala A'lam.
Selasa, 23 Oktober 2012
Hikmah puasa tgl 8 dan 9 Dzulhijjah (Puasa Tarwiyah dan Arafah)
PUASA ARAFAH adalah puasa sunnah
yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni tanggal 9 Dzulhijah. Puasa ini sangat
dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis
pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum’at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim)
Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif (kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla’ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Lagi pula hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci.
Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum’at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim)
Langganan:
Postingan (Atom)